16 Juni, 2021

Toha dan Angil

SABTU sore ketika belum sempat gelap menjadi malam Toha Marga datang ke rumah perempuan itu, langsung dari Jakarta. Entah yang keberapa kali kedatangannya ini, setelah sekian lama dia menjalin hubungan dengan perempuan yang selalu dipanggilnya Angil. Tapi kali itu wajah Angil muram. Hatinya sedang tak bergelora. Sekali-sekali dia beranjak ke teras rumahnya, menengok ke arah jalan memperhatikan lalu lintas kendaraan di depan rumahnya. Dia nampak begitu gelisah.
 
Beberapa saat suasana terasa hening. Toha yang berharap ditanyai kabar tentang dirinya karena baru diangkat jadi PNS, sore itu harus gigit jari. Angil sepertinya tak ingin banyak berbincang seperti pertemuan-pertemuan sebelumnya. Serta merta Toha merasa berada di tempat asing. Padahal hubungannya dengan Angil selama ini dirasakannya baik-baik saja. Tidak ada pertengkaran soal orang ketiga. Tapi kini pikirannya tiba-tiba mulai menangkap kegelisahan Angil.

Toha bangkit dari duduknya dan menghampiri Angil di teras. Mereka memperhatikan lalu lintas kendaraan di jalan depan rumah. Sejauh itu belum juga ada kendaraan yang berhenti di depan rumah. Lalu dia memperhatikan wajah Angil. Perempuan yang dia amat cintai sejak lama itu rupanya sudah berdandan seperti hendak pergi ke sebuah pesta. Tapi pastilah bukan pergi bersama dirinya. Karena Angil tak pernah membicarakan sebelumnya. Angil tiba-tiba nampak pucat, karena Toha begitu lama mengawasinya. Hmm...sebuah kepastian, pikir Toha.

"Kau sedang menantikan kedatangan seseorang, tapi sementara aku masih berada di sini. Lalu kau gelisah, bukan?", tanya Toha. Angil pun menunduk setelah agak sedikit menganggukkan kepalanya.
"Baiklah...", kata Toha. Dia kembali ke ruang tamu mengambil jaketnya. Lalu kembali menghampiri perempuan yang masih pucat itu. "Bagiku tidak penting mengetahui siapa laki-laki yang sedang kau tunggu, Angil, Kau sudah menjawabnya meski tetap membisu. Aku bukan seorang lelaki yang suka bersengketa soal perempuan. Tidak ada keinginan mempertahankan seorang perempuan yang bimbang apalagi yang sudah menetapkan pilihan", tambah Toha. 

Tak perlu berpikir panjang bagi Toha. Lelaki berperawakan sedang ini langsung berlalu begitu saja meninggalkan rumah Angil. Toha tak memerlukan sepatah kata apapun dari Angil. Tapi Angil sepertinya memperhatikan gontai langkah Toha yang tegap dan menangkap kesan kepastian bahwa Toha segera meninggalkan dirinya untuk selamanya. Toha tetap melangkah tanpa menoleh ke belakang. Dia cuma berkata dalam hatinya, bahwa ketika tidak dipersatukan dalam satu atap dengan perempuan yang bukan jodohnya, sesungguhnya adalah sebuah keberuntungan. Tuhan telah menyelamatkan hidupnya. Meski perasaan terhina sempat berkecamuk dalam pikiran dan hatinya. Tapi dia segera menyadarinya bahwa Tuhan punya kehendak lain. 

Beberapa tahun kemudian Toha mendapatkan kabar yang agak mengejutkannya dari seorang temannya bahwa Angil yang kini sudah bersuami dan memiliki anak itu belakangan seringkali berprilaku aneh setiap kali mendengar nama Toha Marga disebut-sebut seseorang. Lalu tertangkaplah kesan, seorang teman mencurigai bahwa Toha mungkin telah mengerjai Angil lewat tangan dukun. "Astaghfirullah...", seru Toha beristighfar. "Seingatku dalam kesadaran yang penuh aku tidak pernah merawat dendam terhadap perempuan mahal itu. Bahwa dulu pernah merasa kecewa, tentu saja, manusiawi. Namun kini justru aku merasa bersyukur kepada Allah karena tidak jadi beristerikan perempuan yang bukan jodohku. Titik", ucap Toha kepada Yohan, teman karibnya.
 
BERSAMBUNG..

29 Maret, 2018

Cermin Kita



            Selama ini banyak gugatan ditujukan kepada bangsa ini. Kita rajin mengumpat, mengata-ngatai bangsa ini sebagai bangsa tempe yang semakin tertinggal oleh bangsa lain. Bahkan kita jarang berterimakasih pada apa yang telah dipersembahkan oleh bangsa ini, yang tanpa sadar telah memberi identitas istimewa kepada kita dengan sebutan Bangsa Indonesia.
            Sebelumnya kita selalu mengatakan bangsa ini sebagai bangsa bermental koruptor. Tidak puas-puasnya kita mencaci bangsa ini, menyudutkan bangsa ini sambil memuji-muji bangsa lain. Dikotorinya pula bangsa ini dengan darah pemerkosaan terhadap hak asasi manusia. Bahkan ditebasnya keramahan bangsa ini dengan pedang kecongkakan atas nama keimanan. Kita begitu rajin melempari wajah bangsa ini dengan kotoran hingga menciprati wajah kita sendiri.
            Sejak kita tidak lagi mengagumi wajah bangsa ini, sejak itulah muncul tuntutan akan perubahan. Namun sayangnya anda hanya menuntut orang lain untuk berubah. Anda sendiri enggan melakukan perubahan pada diri sendiri. Maka benturan antara realita dan harapan dalam lubuk hati menjadi konflik yang hebat, manakala air muka kini telah memancarkan sinar keserakahan, kehausan akan kekuasaan, kesombongan akan kelebihan-kelebihan yang dimiliki, dan keburukan-keburukan lainnya. Secara meyakinkan kesemuanya itu tidak mampu mewujudkan rasa kebersamaan, rasa senasib dan sepenanggungan.
          Seorang Mahatma Gandhi ketika menggagas semangat swadesi pada masa perjuangan meraih kemerdekaan India dari kolonial Inggris, oleh rakyat India disambutnya dengan penuh kekaguman dan rasa hormat, manakala perjuangan  kemerdekaan tidak lagi hanya dapat mengandalkan pada perlawanan fisik belaka.
          Pada awalnya, semangat swadesi (menyandarkan kebutuhan pada kemampuan sendiri) ditunjukkan dengan keengganan Mahatma Gandhi menggunakan pakaian lengkap yang nota bene pada waktu itu merupakan hasil industri buatan bangsa asing (Inggris). Gandhi hanya mau mengenakan kain hasil tenunan isterinya. Kekerasan hatinya terhadap prinsipnya ini menunjukkan kegigihannya dalam diplomasi perjuangan menghadapi penjajah. Gandhi menjadi seorang yang disegani oleh pemerintah kolonial Inggris, bahkan oleh lawan politiknya di dalam negeri. Gandhi tidak cuma berpikir, tetapi ia juga bertindak, hingga dicontoh rakyatnya.
          Semangat Swadesi pada akhirnya telah berhasil mengajarkan kepada rakyat India untuk lebih mencintai produk-produk dalam negeri. Terkesan seperti anti menggunakan produk luar negeri. Oh tidak ! Itu sekedar  ekspresi kebersamaan ketika ancaman melanda bangsa India. 

Sekarang giliran bangsa ini menggugat kita.
          Presiden Soekarno rupanya terilhami oleh semangat swadesi hingga pada tahun 1959 menggagas apa yang disebut Berdikari (Berdiri di atas kaki sendiri). Tujuannya tidak berbeda jauh dari Swadesi, yaitu membentuk masyarakat yang lebih percaya pada kemampuan bangsa sendiri. Termasuk pula upaya untuk membebaskan diri dari pengaruh ide-ide yang tersembunyi di dalam sistem hukum nasional pada waktu itu.
          Dosa terbesar negeri ini adalah ada pada kesombongan kita sendiri yang selalu membangga-banggakan kekayaan negeri ini tetapi senang berdagang eceran produk-produk luar negeri sambil tidur tanpa berbuat banyak untuk bisa mengelola sendiri Negeri ini.
          Coba saja renungkan kalimat-kalimat yang terlalu sering mendengung-dengung di telinga kita. “Negeri kita ini amat kaya”; “Orang-orang Indonesia itu sebenarnya tidak kalah pintar dibanding orang asing”; “Nenek moyang kita itu sebenarnya hebat”;  Negeri kita itu luasnya hampir sama dengan daratan Eropa”; “ Pejuang-pejuang kemerdekaan kita itu hebat, dengan bambu runcing saja mampu mengusir penjajah”; “Indonesia ini negara terbesar di Asia Tenggara”;  Indonesia adalah negara berpenduduk pemeluk agama Islam terbesar di dunia”; “Candi Borobudur adalah salah satu keajaiban dunia”; “Bangsa Indonesia terkenal sejak dulu dengan keramahannya”.
          Kalimat-kalimat yang berbau nostalgia dan propagandis tersebut seakan-akan diarahkan untuk dijadikan bukti bahwa kita ini sudah cukup banyak berbuat sesuatu untuk negeri ini. Inilah yang keliru !
          Mari kita renungkan hal-hal tersebut di bawah ini: 1) Apa yang sesungguhnya telah kita lakukan sebagai pembuktian bahwa negeri ini amat kaya? Bahkan kita jarang melirik produk dalam negeri; 2) Apa yang sesungguhnya telah kita buktikan bahwa orang-orang Indonesia itu tidak kalah pintar dibanding orang asing? Bahkan kita jarang menaruh kepercayaan pada tenaga ahli dalam negeri; 3) Apa yang sesungguhnya dapat kita pelajari dari kejayaan nenek moyang kita ? Bahkan kita jarang mengagumi kebudayaan lokal selain terbang ke mancanegara; 4) Apa yang sesungguhnya telah kita lakukan untuk bisa menjaga wilayah negeri ini tetap luas dan bersatu? Bahkan kita sering tidak sungguh-sungguh menyudahi penjualan pasir ke luar negeri; 5) Apa yang sesungguhnya dapat kita maknai dari besarnya jumlah umat Islam di Indonesia? Bahkan kita sering nampak sombong sebagai kekuatan yang kontra produktif; 6) Apa yang dapat ditunjukkan sekarang ini sebagai kebenaran bahwa bangsa Indonesia sejak dulu terkenal dengan keramahannya? Bahkan kita sering menjadi bagian dari aksi anarkis terhadap sesama anak bangsa; 7) Apa yang sesungguhnya bisa kita tunjukkan bahwa kita peduli pada kebangkitan ekonomi bangsa?. Bahklan kita sering membelanjakan uang kita untuk produk-produk luar negeri yang tidak begitu penting.
          Tergantung niat anda. Saya hanya seorang provokator yang tidak mau lagi nonton film import di gedung bioskop sejak tahun 1998. (Medy P. Sargo)

30 November, 2016

Kerinduan Pada Indonesia, Kelak.


Jalan-jalan di pusat perbelanjaan moderen di perkotaan rasanya seperti sedang berjalan-jalan di Asia Timur. Jalan-jalan di tanah pertambangan rasanya seperti sedang berada di Eropa Barat. 
Nonton tayangan konflik berjamaah rasanya seperti sedang berada di Timur Tengah. 
Lantas Negeriku itu ada di mana?

Suatu waktu nanti kita bertemu dan hanya saling pandang. 
Kita tidak saling mengenal tetapi rasanya seperti pernah kenal. 
Masing-masing dari kita bergumam "Mana INDONESIA-ku?"

Kita adalah kebanyakan tidur siang setelah malam hanya tertawa mabuk. 
Kita marah hanya jika lapar. Kita lari hanya karena takut. 
Kita datang hanya karena tak mengerti apa-apa. 
Kita pergi hanya karena suatu keuntungan sudah diraih. 

Kita rajin membaca kitab suci tapi tak pandai mengamalkannya. 
Kita tak pandai menyembunyikan fisik dan senang mempertontonkan perkataan luhur. 
Kita lebih suka mendapatkan pengakuan publik dari pada pengakuan Sang Choliq. (Ⓒmedypsargo/Nov2016)

23 Agustus, 2016

MARI KITA BERDIKARI !!

Kita hidupkan kembali spirit BERDIKARI. Jangan sekedar slogan seperti "Indonesia Bisa", "Indonesia Bangkit", "indonesia Hebat", atau apapun namanya. Slogan tak punya arti jika kita seperti orang mati.
BERDIKARI, Berdiri Di atas Kaki Sendiri (swadesi), jangan diartikan sempit hanya seputar kemampuan membuat sesuatu dengan tangan sendiri. Tetapi harus diartikan juga sebagai kemampuan dalam menggunakan produk-produk hasil karya bangsa sendiri.

Kita harus memiliki rasa bangga menggunakan produk bangsa sendiri. Perkara kualitas menjadi tanggungjawab kita sendiri untuk mendorongnya menjadi lebih baik. Jangan ragu mengkritik kelemahan produk anak negeri. Tetapi jangan hanya mengejek. Berikan saran yang konstruktif. Anda yang mengejek belum tentu bisa berbuat sesuatu yang lebih baik. Tetapi sangat penting memberi koreksi pada karya di bidang apapun. Agar tidak mudah puas dengan hasil kerja yang baru setumit kaki.

Kita tahu, tidak ada hasil kerja yang sempurna. Perubahan selalu diperlukan untuk menyesuaikan dengan perkembangan jaman dan berusaha mensejajari pesaing kita di seluruh dunia. Memang saat ini masih terlalu banyak ketertinggalan yang dialami Negeri ini. Tetapi itu pasti tak lepas dari peran kita sebagai anak bangsa. Kita sering menyadari itu, tetapi berhenti hanya pada keluhan atau membiarkan. Padahal tugas kita sebagai anak bangsa bukan hanya bertanggungjawab mengurus diri kita sendiri atau keluarga kita sendiri. Kita punya rumah besar bernama Republik Indonesia. Jika kita hanya diam, tak ubahnya seperti rayap yang menggerogoti kayu-kayu bangunan rumah kita hingga roboh kelak.

Hidup kita bukan berakhir ketika kita mati. Tetapi masih ada yang harus melanjutkan cita-cita kita, yaitu anak cucu kita. Karena itu berilah persoalan yang mudah bagi anak cucu kita di kemudian hari. Kita harus berbuat banyak hal berguna bagi Negeri ini, dan menyisakan sedikit saja untuk dilanjutkan anak cucu kita.

Mari BERDIKARI. Contoh yang sederhana, tontonlah filem-filem nasional. Tapi jika tak mau menontonnya, lalu kenapa harus menonton filem-filem produk luar secara membabi buta. Jika itu tak menggerogoti devisa negara, tak apa. Tapi jika sudah tak seimbang dengan penerimaan negara di sektor perfileman, maka sesungguhnya kita sedang bunuh diri. Itu baru di sektor perfileman sebagai bagian dari bidang kesenian. Belum di sektor pertanian, peternakan, perkebunan, kesehatan, pertahanan, pertambangan dan sebagainya.
Pandai-pandailah kita mensiasati kondisi saat ini. Jangan mengukur kesehatan dan keselamatan Negeri ini hanya dari keberadaan kita saat ini yang masih sekedar bisa makan dan minum. Kita telah dininabobokan oleh kenikmatan dan kecukupan sekitar puser, lalu pergi ke toilet. Kita masih punya tanggungjawab terhadap kelangsungan hidup yang baik atas negeri ini.

INTI-nya, belanjakan uang anda sedapat mungkin untuk membantu pertumbuhan ekonomi bangsa. Belanjalah sesuai kebutuhan yang mampu bangsa ini penuhi. Tidak belanja sesuai keinginan yang mampu bangsa lain sesaki. (Bersambung).

08 November, 2015

NOSTALGIA 1


Aku tidak pernah menang dalam banyak kompetisi. Bahkan tak jarang dicurangi. Yang paling tidak terlupakan adalah ketika dalam ajang festival pop singer se Kabupaten Subang (1981) untuk memilih calon wakil pada festival tingkat Propinsi Jawa Barat, dimana Tim Juri mengumumkan aku masuk final, tetapi pada waktu akan mengikuti pengambilan nada dasar dua hari kemudian, namaku tiba-tiba hilang. Menurut Panitia yang belakangan ketahuan punya jagonya, telah terdapat kekeliruan. Nakh....pengalaman-pengalaman seperti itu yang membuatku menjadi orang yang selalu merasa jijik menghadapi orang-orang yang tidak bisa bersikap sportif.
Anehnya aku sering dapatkan sesuatu dari orang lain ketika tak ada keinginan untuk meraihnya. Satu-satunya kemenangan yang kuraih dari sebuah kompetisi adalah ketika aku bermaksud mengundurkan diri dari kontes nyanyi di masa SMP hanya karena merasa tidak pede dengan baju yang kukenakan. Lalu seorang siswi teman sekelasku menawarkan tukaran baju. Kebetulan dia mengenakan baju motif kotak-kotak ala cowboy yang sangat aku sukai pada waktu itu. Walaupun kancingnya terbalik, akhirnya aku jadi naik panggung, dan memenangkan kompetisi (1975). Terimakasih Sri Palawati. Itu nama teman SMP-ku.

10 Oktober, 2015

Hanya Karena Tuntutan Moralitas, Saya Mengungkap



Sekaligus tulisan singkat ini untuk mengungkap sejarah cikal bakal pembentukan Unit Pengelolaan HKI yang kemudian dikenal publik dengan sebutan Sentra HKI.

Akhir 1998, dengan bekal ilmu yang diperoleh dari Battelle Memorial Institute (BMI) Amerika dan dari Japan Institute of Invention and Innovation (JIII) Jepang, saya mendesain suatu model organisasi pengelolaan hak kekayaan intelektual untuk dapat diterapkan di BPPT. Atas support Kepala Bagian Hukum BPPT (Giartono, SH) serta antusiasme Drs. Y. Subagyo, MA (Pembantu Asmen-Kemenristek) yang memfasilitasi, saya memperkenalkan model organisasi pengelolaan HKI itu kepada Prof. Sulaeman Kamil, salah satu Asmen di Kemenristek pada waktu itu. Kemudian atas permintaan beliau saya presentasikan pula di hadapan para asisten Menristek di era kepemimpinan Prof Zuhal (alm).

Setelah ada beberapa masukan, model itu diadopsi Kemenristek dan diterapkan di ITB (1999) dengan nama IPMO ITB. Nama yang persis digunakan di BMI. Oleh Prof. Sulaeman Kamil kemudian diperkenalkan juga ke beberapa perguruan tinggi lain melalui program insentif pembentukan sentra HKI. Menurut saya Prof. Sulaeman Kamil dalam kapasitasnya yang strategis di Kemenristek memiliki jasa yang berarti dalam menyebarluaskan sentra HKI. Walhasil banyak berdatangan rekan ke tempat saya dari LAPAN, IPB, KIMPRASWIL (KemenPU) dan lain-lain, untuk berdiskusi dan melakukan studi banding seputar sistem pengelolaan HKI di BPPT. Tak kurang hampir tiap bulan saya mendapat undangan untuk mempresentasikan model pengelolaan HKI di beberapa tempat. Itu karena rekomendasi Direktur Paten (Emmawati Junus, SH) dan Drs. Y. Subagyo, MA.

Harus diakui bahwa semenjak sentra-sentra HKI dibentuk melalui dukungan program insentif Kemenristek maka jumlah aplikasi paten mulai meningkat, dan data HKI pun terungkap di beberapa lembaga yang memiliki sentra HKI. Namun sayang, terdapat sedikit perbedaan pandangan antara Ditjen HKI dan Kemenristek dalam pendekatan sosialisasi HKI ke publik. Sejujurnya ini agak mengganggu koordinasi di antara kedua pihak. Padahal kita sedang dihadapkan pada pembangunan sistem HKI yang diharapkan dapat menciptakan situasi yang kondusif bagi pertumbuhan HKI itu sendiri. 

Sengaja saya unggah kisah ini agar tidak ada yang memutar balik sejarah. Orang-orang yang bisa menjadi saksi sejarah Alhamdulillah hari ini masih sehat wal afiat. Misalnya. Drs. Y. Subagyo, MA (BPPT), Giartono, SH (pensiunan BPPT), Dr. Hidary Amru (pensiunan LIPI), Emmawati Junus, SH (pensiunan Ditjen HKI), Sri Purwaningsih, SH (pensiunan BPPT).

Sampai akhir 2014, dalam catatan saya jumlah sentra HKI di Indonesia terdapat 113 buah (termasuk yang mati suri). Insentif pembentukan sentra HKI telah diluncurkan Kemenristek sejak tahun 2000. Tetapi tahun 2005 tidak terdengar lagi. Lalu dihidupkan kembali pada tahun 2010 oleh DR. Idwan Suhardi (Deputi di Kemenristek) dan dilaksanakan oleh DR. Sabartua Tampubolon (sekarang Direktur Harmonisasi Regulasi dan Standarisasi pada Badan Ekonomi Kreatif).

Kiprah saya selanjutnya sejak tahun 2011 dengan dikawal Prof. Dr. Didik Notosudjono (Asdep Kekayaan Intelektual - Kemenristek) adalah menggagas dan mengawal proses perumusan kebijakan nasional di bidang sistem imbalan (royalti) paten bagi inventor berstatus PNS. Pada waktu itu saya menjabat Kepala Bidang Perguruan Tinggi dan Lembaga Litbang di bawah asdep Kekayaan Intelektual – Kemenristek. Alhamdulillah berhasil menggoalkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 72/PMK.02/2015 tentang Imbalan Yang Diperoleh Dari PNBP Royalti Paten Kepada Inventor. Walaupun PMK tersebut masih banyak dijumpai kelemahan. Namun paling tidak bisa digunakan sebagai acuan untuk menyisihkan PNBP dari Kas Negara untuk imbalan bagi inventor berstatus PNS.

Berikutnya saya menggagas dan mendesain standarisasi kelembagaan sentra HKI agar sesuai dengan perkembangan jaman. Disusul pengembangan strategi kemitraan riset yang berorientasi pada peroleh paten. Tentu saja diperkuat masukan dari teman-teman yang berkiprah di perguruan tinggi dan lembaga litbang. Namun keduanya masih berproses dan belum berhasil mendorong diterbitkannya Peraturan Menteri. Setidaknya DR. Sadjuga (Direktur Pengelolaan Kekayaan Intelektual-Kemenristekdikti) masih bersemangat mengawal.

Ironisnya, unit pengelolaan HKI BPPT sendiri sudah hampir 8 tahun tak nampak perkembangannya. Seperti tak tahu arahnya mau kemana. Masih terlena dengan jumlah permohonan paten, tetapi tak punya energi meningkatkan jumlah paten yang bernilai ekonomi tinggi dan komersial. Saya ingin mengubahnya, tetapi biasanya saya tidak pernah berada lama di suatu tempat setelah saya mendesain suatu sistem ataupun prosedur. Seperti yang sudah-sudah ketika mendesain prosedur penyiapan draf perjanjian di BPPT (2005), serta tata kelola organisasi di Pusat Pelayanan Teknologi (BE) BPPT (2007). Tak lama setelah itu biasanya terjungkal keluar. Tak ubahnya seperti Kopasus, hanya sebagai juru masak saja. Tak apa kalaupun itu terjadi. Tetapi jangan sampai ada yang memutar balik sejarah. Itu yang terpenting. Orang boleh tak ingat, tetapi saya ingat orang-orang yang tak mengingat. Meski terkadang moral saya terusik jika muncul orang-orang yang tak memiliki kejujuran moralitas.

Mengapa saya ungkap masalah ini sekarang, adalah supaya dapat dicek kembali ke berbagai pihak yang masih hidup. Artinya memungkinkan orang lain memberi koreksi sambil disaksikan oleh pelaku-pelaku yang masih hidup. Sebab akan lain jadinya jika saya ungkap setelah kehilangan saksi sejarah. Mohon maaf bagi yang tak berkenan. (Medy P Sargo, Tangerang, 10 Oktober 2015).

03 April, 2015

RENUNGAN-KU




Apakah kita sedang mempermainkan Allah SWT?
Sehari-hari berpikir dan membenarkan tentang kebohongan yang kita bangun.
Bahkan dengan mudah mempercayai informasi sesat jika itu akan menguntungkan kepentingan kita. 
Lalu memfitnah orang-orang yang tidak berdosa kepada kita secara pribadi, 
hanya karena takut kehilangan sesuatu yang Allah pinjamkan kepada kita. 
Lalu kita merasa puas.

Apakah kita benar-benar beriman?
Pada setiap usai shalat lima waktu kita masih berpikir bersekongkol
merencanakan keburukan terhadap orang lain, dengan mengatasnamakan jihad.
Apakah kita benar-benar beriman?
Sekali lagi aku bertanya, apakah kita benar-benar beriman?

Pagi ini benar-benar aku menyesali dan kecewa.
Aku sungguh membutuhkan teman-teman yang beriman.
Teman yang tidak kuukur dari perkataan kutipannya,
tetapi dari perkataannya yang terbangun dari pengalamannya dalam
mengaktualisasikan ajaran Allah SWT.

Apakah kita sedang mempermainkan Allah SWT?
Padahal betapa hinanya diri kita. Tetapi sering lupa bahwa
ada yang selalu mengetahui gerak gerik kita.
Kita sering lupa bahwa ada yang menciptakan kita.
Malah berpikir seolah-olah kita yang menciptakan Allah.

Yaa Allah....ampunilah hambaMU ini.
Ampuni kami semua. Kami ingin selamat sebagai anak bangsa.
Lindungilah kami sebagai bangsa beradab.
Berilah kami pemimpin yang amanah.
Aamiin..

08 September, 2013

Renungan Untuk Calon Pemimpin Bangsa

BARACK OBAMA VS HARAPAN BANGSA PEMALAS
(Edisi Jelang Pilpres 2014)

Hanya kata “memalukan!” yang paling tepat dicirikan pada sebagian bangsa kita (termasuk di dalamnya para pengamat/tokoh politik dan ekonomi), yang menempatkan harapan terlalu tinggi pada Barack Obama sebagai Presiden terpilih Amerika Serikat.

Bagaimana tidak, mereka para pengamat/tokoh politik khususnya, menanggapi kemenangan Barack Obama sebagai keberuntungan bagi Indonesia. Mengingat kata mereka, Barry (panggilan kecil Barack Obama) adalah orang yang pernah tinggal di Indonesia pada masa kecilnya (sebenarnya tidak sampai lebih dari 3 tahun). Bahkan disinyalir pernah menganut agama Islam (agama yang dianut ayahnya berkewarganegaraan Kenya) dan diduga pernah berkewarganegaraan Indonesia sebelum akhirnya pindah dan menetap di Amerika Serikat.

Banyak di antara kita yang meramalkan (sebenarnya mengharapkan) bahwa Obama akan memperlakukan Indonesia lebih baik dari pada presiden sebelumnya, hanya karena Obama diperkirakan masih memiliki ikatan emosional dengan rakyat Indonesia. Benarkah demikian? Terlebih lagi karena Obama memiliki adik perempuan, Maya Soetoro, yang ber-ayah-kan orang Jawa.

Mungkin sebaiknya kita perlu minta pendapat Maya Soetoro, yang kini berkewarganegaraan Amerika, apakah dia sebagai anak orang Jawa memiliki kecintaan pada Indonesia? Tentu saja bukan bermaksud meragukan. Tetapi sebagai orang berkewarganegaraan Amerika wajar tentunya bila dia lebih membela kepentingan negaranya. Apalagi bagi Obama, yang hanya memiliki setetes “masa” saja menetap di Indonesia. Sementara seorang pelaku bom Bali yang note bene orang Indonesia tulen pun justru tidak memiliki beban menghianati bangsanya. Bagi Obama tentu tidaklah menjadi beban untuk tidak memikirkan Indonesia, kecuali Indonesia akan memberikan keuntungan yang jauh lebih besar dari apa yang akan Amerika berikan kepada Indonesia.

Obama yang pernah bersekolah (SD) di daerah Menteng, diangan-angankan sebagian rakyat Indonesia untuk sedikit saja “berpihak” pada Indonesia. Sesungguhnya sah-sah saja orang memiliki angan-angan demikian. Tetapi penting bagi bangsa ini untuk berpandangan realistis. Jangan terbius oleh hal-hal yang musykil. Sebab itu akan membuat bangsa ini menjadi bangsa yang pantas dipermalukan oleh diri sendiri.

Munculnya pandangan tentang “keberpihakan” Obama kepada Indonesia sesungguhnya hanya sekedar menunjukkan bahwa bangsa ini lebih mengedepankan pertimbangan-pertimbangan emosional yang sangat lemah. Barangkali pandangan tersebut boleh diakui sebagai penandaan terhadap bangsa yang lebih akrab dengan budaya KKN dan “Kemalasan”.

Bangsa yang akrab dengan KKN dan kemalasan adalah bangsa yang selalu berharap mendapat sesuatu dari perhatian orang lain tanpa ia merasa harus berusaha dengan keras. Bahayanya kalau hal itu terlalu diyakini, maka ia akan berpengaruh pada ketahanan bangsa. Bangsa ini menjadi lengah, karena merasa tidak memiliki ancaman dari luar.

Sepanjang perjalanan sejarah bangsa kita, belum pernah diuntungkan oleh kebijakan luar negeri negara-negara maju. Ini jika kita mau benar-benar main itung-itungan. Pandangan ini tidak ada hubungannya dengan benci atau tidaknya pada bangsa lain. Karena kita selalu harus menyadari tidak ada pengorbanan bangsa lain untuk lebih memajukan bangsa kita dari pada negaranya sendiri.

Mari kita simak pidato berulang-ulang Barack Obama sejak tahun 2004. Dia mengatakan bahwa tidak ada “Arab-Amerika”, tidak ada “Latin-Amerika”, yang ada adalah United State of America. Artinya Obama tidak akan melihat perbedaan dan membeda-bedakan. Dia hanya melihat bahwa yang ada adalah Amerika Serikat. Seorang Obama lebih melihat Amerika sebagai suatu negara yang utuh teritegrasi. Pernyataan tersebut bukan sekedar menegaskan bahwa Obama menentang perbedaan, tetapi juga dia lebih mengedepankan kepentingan Amerika Serikat di atas segala-galanya.

Dalam dunia politik bila ingin melindungi kepentingan negaranya maka tentu saja bila perlu menyingkirkan kepentingan negara lain dengan berbagai pendekatan. Pendekatan yang halus ataupun kasar hanyalah sebuah cara. Dan bagi negara mana pun di dunia, pastilah tidak menghendaki kepentingannya dihancurkan. Jika ada sebuah negara yang tidak menyadari bahwa kepentingannya sedang dihancurkan negara lain, itu hanya dikarenakan terlalu menyandarkan harapan pada belas kasih negara lain. Jika demikian adanya, maka benarlah bangsa ini adalah bangsa pemalas.

Bagi bangsa pemalas, barangkali tidak akan protes ketika "kakinya" diamputasi oleh ”kebaikan” negara lain yang hanya menggantinya dengan sepiring nasi untuk makan sehari. Dan jika calon pemimpin kita yang akan bertarung di Pemilu tahun 2014 masih berfikir demikian, sebaiknya tidak memberanikan diri ikut dalam bursa pencalonan pemimpin negara. Negara ini memerlukan pemimpin yang merdeka, cerdas, tegas, pantang menyerah, dan punya harga diri.